Bukan Cinta Biasa

ilustrasi: pixabay.com

Ada yang membuatku tak mudah membiarkanmu berlalu. Sebagaimana membiarkan Claudia, Della atau Susan menjadi kenangan. Mereka semua cantik. Mereka semua menarik. Tetapi kamu seperti kunang-kunang yang mengaburkan cahaya bulan di malam hari. TΓ k mudah kubiarkan kau berlalu. Membuatku ingin terus mengikuti ke mana engkau terbang. Angkuhmu pada setiap pria yang mendekatimu. Senyummu yang teramat mahal untuk kausungging walau sekilas saja. Bicaramu yang irit selalu menjadi senjata untuk menghindar dari situasi berlama-lama dengan pria yang berusaha mendekatimu. Semua itu tak pernah membuatku patah arang. Apapun kata orang tentangmu, langkahku tak akan surut. Karena aku terjerat permata indah di matamu.

20 Juni 2018

Sudah ke-10 kali jurnal harian Reynaldi tertoreh catatan tentang seseorang. Gadis pujaan yang sampai hari ini tak kunjung bisa didekati. Ia seperti menghadapi tembok besar yang merintangi langkahnya. Tembok “keangkuhan” seorang gadis bernama Rahma. Padahal waktu sudah berjalan satu tahun sejak Rahma diangkat menjadi karyawan di perusahaan tempat Rey bekerja.

Keesokan hari Rey kembali berpapasan dengan Rahma di lobby kantor. Rey pun dengan ringan menyapanya. Tanpa pernah bosan, betapapun reaksi Rahma tak pernah lebih dari menjawab singkat dan datar.

“Pagi, Rahma.”

“Pagi.” jawab Rahma. Seperti biasa jawabannya tanpa senyum. Miskin ekspresi. Langkahnya tetap lurus menuju ruang kerja, seolah tak ada seorang pun di sekitarnya. Anehnya, Rey tak pernah hilang rasa tertariknya terhadap gadis itu.

“Huh, masih sombong saja dia.” celetuk Hari, teman Rey di Departemen Akunting.

“Biar saja, memang orangnya begitu. Mungkin ia hanya menjaga jarak dengan makhluk seperti kita. Atau jangan-jangan karena melihat tampangmu yang sangar kali, Har.. hehehe.”

“Sembarangan kamu. Biar begini juga pacarku gak kalah cantik dari bocah songong itu. Aku cuman gak habis pikir, dia itu kok seperti gak butuh teman. Terutama teman pria. Bahkan untuk tersenyum saja ia enggan. Seolah senyumnya lebih mahal dari harga emas.”

“Hahaha… bisa aja kamu, Har. Memang ada kewajiban orang buat senyum? ” Rey menertawakan Hari.

“Kok kamu selalu ngebela dan memaklumi dia sih? Sebegitu tergila-gilakahΒ kamu sama dia? Sadar gak, kalau kamu gak pernah berhasil mendekatinya?”

“Sabar… sabar… ini ujian. ” Rey tersenyum santai. Setengah meledek.

“Rey. Aku rasa dia bukan orang yang cocok menjadi pasanganmu. Dia itu programmer. Tahu gak sih kamu, programmer itu makhluk apa? Programmer itu dunianya lebih banyak bergulat dengan kode-kode program yang mirip bahasa alien. Makhluk planet yang pintar tapi bahasanya sulit dipahami manusia awam macam kita. Waktunya lebih banyak memelototi layar komputer dari pada ngobrol dengan manusia. Dia bukan tipemu, yang doyan jalan, ngobrol dan suka keramaian.”

“Sok tahu, kamu. Kecocokan tak harus semua sama.”

“Ngerti. Tapi coba bayangkan kalau kamu jadi pacarnya. Kamu akan terlantar. Dia akan lebih mencintai dunianya yang sunyi dari pada menemanimu. Hidupmu akan sepi, dan kamu akan mati pelan-pelan.”

“Lebay. Tak perlu lah menghakimi orang apalagi dikait-kaitkan profesinya. Banyak programmer yang asyik diajak gaul kok. Itu cuman masalah karakter. Atau mungkin prinsip hidup. Tak ada hubungannya dengan pekerjaan. ”

“Ya sudah. Kalau aku sih, no way. Punya cewek model gitu, sama aja pacaran sama robot. Makhluk yang terlihat hidup tapi tanpa perasaan. Hidupnya serba terprogram dan penuh algoritma. Barangkali denyut nadinya berupa letupan kode biner 0 dan 1.”

“Gile, tahu aja kamu kode biner, algorithma segala. Aku saja gak paham.”

“Aku kan pernah nyasar kuliah di IT. Begitu sadar itu bukan passionku, kuputuskan setahun saja aku hidup di sana. Dan tahu gak, sebagian besar waktu seorang programmer dihabiskan untuk memikirkan solusi bagaimana memecahkan masalah pemrograman yang seringkali memunculkan bug dalam proses develope-nya.”

“Lho, bagus toh? Berarti kelak kalau berumah tangga dia pintar mencari solusi saat menghadapi masalah. Dari pada kamu, lebih pintar mencari masalah..hehe.”

“Enak saja. Aku justru bermaksud mengingatkanmu, jangan sampai menyesal nantinya. Itu pun kalau kamu tidak keburu patah hati atau gagal. Sampai sekarang saja pendekatanmu tak pernah mengalami kemajuan.”

No problem about that, Hari. Tetapi Rahma tetap spesial buatku.”

“Halah, spesial pake telor kali. Mending beli martabak saja gih. Lebih menyenangkan dari pada mengejar cewek yang dinginnya melebihi salju di kutub utara.”

“Hehe, sampai segitunya kamu, Har. Ingat, nenek pernah bilang apa? Tak kenal maka tak sayang. Aku harus mencari cara untuk mengenalnya. Tidak harus dekat dengannya, tetapi mempelajari tipikal macam apa gadis seperti Rahma. ”

“Sok aja lah. Terserah kamu aja, Rey. Siapkan tisue yang banyak untuk menyambut kegagalanmu.”

*

Di sebuah ruangan rapat utama. Rapat dihadiri direktur utama dan para petinggi perusahaan membahas penerapan sistem informasi perusahaan. Hadir pula di sana Rey mewakili Departemen Akunting. Dan, pemandangan yang menarik adalah presentator bernama Rahma, yang membawakan presentasi tentang rencana implementasi sistem terintegrasi yang akan diterapkan di perusahaan. Ia ditunjuk oleh Manajer IT sebagai Project Manager untuk menangani proyek besar ini. Ia dipilih karena memiliki pengalaman di tempat kerja sebelumnya sebagai consultant ERP ( Enterprise Resource Planing ). Yaitu sebuah paket sistem berupa perangkat lunak atau software yang digunakan oleh perusahaan untuk mengelola kegiatan bisnis harian mereka, seperti pengelolaan keuangan, pengadaan, produksi, proyek, SDM, dan lain-lain

Presentasinya memukau hadirin, termasuk Direktur Utama yang juga pemilik perusahaan. Penyampaian dan penjelasannya terarah dan sistematis. Ia menjelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Intonasinya jelas dan lugas. Tidak nampak sama sekali Rahma sebagaimana sering ditemui Rey di luar ruangan. Rahma yang irit bicara, tanpa ekspresi saat berpapasan dengan pria, tak nampak sama sekali di hadapan para petinggi perusahaan. Apa yang akan dilakukan oleh Departemen IT berhasil meyakinkan top management. Sebuah presentasi yang sukses.

Dukungan manajemen dan seluruh audience nampak dari aplaus yang menggema di dalam ruangan, usai tanya jawab dan saat Rahma menutup presentasinya.

Dan Rey, ia makin terkesima dengan penampilan Rahma yang smart. Meski ia tak habis pikir, mengapa jika di luar pekerjaan ia tak mendapati senyum dan keceriaan seperti saat dia menyampaikan presentasi. Mengapa ia enggan menjelaskan sikapnya yang selalu dingin dan menghindar setiap kali Rey mendekatinya? Apakah mungkin hanya pada dirinya saja ia bersikap demikian? Sejuta pertanyaan berkeliaran di kepala Rey.

Bagaimanapun Rey menaruh respek dan dukungan terhadap apa yang akan dilakukan Rahma dengan proyeknya. Karena itu ia bergegas menyambangi Rahma usai acara.

“Selamat, ya Bu Rahma. Luar biasa presentasinya. ”

“Terima kasih, pak Reynaldi. Mohon dukungan dan kerjasamanya.”

“Tentu, Bu Rahma. Kami dari Departemen Akunting akan terbantu sekali dengan sistem yang Bu Rahma tawarkan. Bayangkan, saat ini setiap kali akan menyajikan laporan nasional, kami harus melakukan rekonsiliasi data yang memakan waktu berminggu-minggu. Karena sistem di perusahaan kita belum terintegrasi. Masih melakukan entry data sendiri-sendiri di setiap cabang. Tentu, saya akan dukung Bu Rahma sepenuhnya.”

“Sekali lagi, terima kasih.”

“Sebetulnya saya ingin bicara lebih banyak dengan Bu Rahma. Kalau berkenan, bagaimana kalau siang ini kita keluar kantor dan berbincang-bincang di tempat yang lebih santai? Itu kalau Bu Rahma berkenan.”

“Maaf, kalau soal itu saya tidak bisa. Saya duluan, ya.” Lagi-lagi Rahma berlalu. Kembali menuju ruang kerjanya. Ajakan Rey seperti firasat buruk yang secepatnya harus dihindari. Dan Rey kembali menguatkan hatinya.

*

Suatu ketika Rey dan Hari kembali terlibat perdebatan tentang Rahma.

“Gimana, Rey? Ada kemajuan?” tanya Hari sambil tersenyum seolah berharap Rey cepat sadar diri sebelum bunuh diri karena cinta yang bertepuk sebelah tangan.

“Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Sebuah progress bukanlah variabel mutrlak yang selalu bisa dijadikan tolak ukur sebuah keberhasilan. ”

“Belum pernah aku menjumpai orang yang sangat keras kepala melebihi kamu, Rey. Menurutku sudah tak ada jalan buat kamu untuk memilikinya. Mendapatkan senyumnya saja seperti mustahil.”

“Jadi orang itu harus optimis, Bro. Ibarat sebuah dadu bermata 1 sampai dengan 6, aku melihat diriku masih menjadi salah satu mata dadu yang ada. Kalau mata daduku bernilai 7, barulah peluang itu tak akan ada. Aku masih punya peluang 1/6. Andaipun peluangku 1/100 aku tetap akan berikhtiar. Jangan tanya bagaimana caranya.”

“Hahaha.. paling ujung-ujungnya kamu ke dukun. Itu satu-satunya jalan mendapatkan dia. ”

“Astaghfirullah, aku tak akan melakukan segala cara, Har. Haram itu!”

“Inget, Rey. Dia tipikal pekerja yang sangat mencintai pekerjaannya. Apalagi kalau sudah tenggelam dalam kode-kode pemrograman yang rumit itu. Mungkin saja kelak dia hanya akan menikah dengan laptop.”

“Sadis, kamu Har. Gak boleh berprasangka buruk. Jangan-jangan kamu pernah patah hati dengan seorang programmer juga ya?”

“Idih, amit-amit. Mendingan aku dapet janda kaya, dari pada hidup tersiksa.”

“Hahaha.. dasar, cowok matre.” Rey tertawa mendengar Hari membandingkan Rahma dengan janda kaya.

*

Hari berganti hari, hingga satu tahun berlalu.

Rey tetap gigih mendekati Rahma. Tetapi Rahma tetap Rahma. Tetap tak bergeming dan dingin seperti batu marmer. Ia tetap acuh pada setiap pria yang mendekatinya.

Sampailah pada suatu hari yang mengagetkan semua teman-teman Rey di kantor.

“Ada apa denganmu, Rey? Gak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba kamu mengajukan resign?” Hari terkejut saat mendengar keputusan Rey. Sudah 5 tahun masa kerjanya di sini.

“Ah, biasa saja, Har. Nanti kamu juga akan tahu. ”

What?”

Benar saja. Dan kejutan itu disampaikan sendiri oleh Rey ke tangan Hari.

“Dateng ya, di pernikahanku.” pinta Rey sambil menyerahkan sebuah undangan. Raut muka Hari masih bingung seperti sedang mengumpulkan banyak pertanyaan.

“Nikah? Sama Claudia atau Della? ”

“Hahaha… itu cerita lama. Aku sudah menemukan yang terbaik. Sudah, baca saja undangannya.”

“Hah? Gila, kamu! Bagaimana imana kamu bisa merebut hatinya. Jangan-jangan kamu pakai pelet?”

“Sorry lah yaw.. Sekali lagi aku ulangi, tidak ada hal-hal begituan dalam kamus hidupku.”

Berita tentang pernikahan Rey dan Rahma pun cepat sekali viral di lingkungan kantor. Tak disangka sama sekali Rey akan menikah dengan orang yang tidak pernah dipacarinya. Aneh memang. Dan di balik keanehan itu mereka serentak bertanya-tanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?”

Saat itu, pada suatu akhir pekan yaitu tiga bulan sebelum hari pernikahan ditetapkan. Rey nekad menemui Rahma. Ia hanya ingin mengatakan satu hal. Dan Rey sudah siap dengan apapun reaksi Rahma.

“Hi, Rahma.”

“Hmm.” jawab Rahma singkat seperti biasanya.

“Aku boleh datang ke rumahmu besuk pagi? Jika kamu tidak keberatan.”

“Mau apa?”

“Besuk kamu ada di rumah?”

“Iya, aku sedang tidak ada acara besuk.”

“Orang tuamu ada?”

“Ada. Kenapa?”

“Gak apa-apa. Kebetulan, jika diperkenankan aku juga ingin ketemu orang tuamu. Aku mau bersilaturahmi saja. Boleh?”

“Terserah. Sudah ya, ojol sudah menungguku.” jawab Rahma tetap datar. Pulang begitu saja tanpa mengiyakan atau pun menolak. Dan Rey tetap dengan rencananya. Besuk pagi ia akan berkunjung ke rumah Rahma.

Keesokan harinya, Rey menepati janjinya. Ia datang tidak sendiri. Lengkap dengan ke dua orang tuanya. Ia nekad melamar Rahma.

*

pic: pixabay.com

Dan, saat-saat yang mendebarkan itu tiba. Ayah dan ibu Rahma menyambut baik kedatangan Rey dan keluarga, meskipun terasa mendadak. Dan ketika Ayah Rey mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu dalam rangka melamar putri Bapak Widyatama yang bernama Rahma untuk dinikahkan dengan putra pertamanya, Reynaldi. Maka saat itulah Rey menanti dengan khusuk jawaban dari keluarga Rahma.

“Terima kasih, atas apa yang telah Bapak sampaikan. Kami merasa senang dan menghargai semua niat baik Bapak Sudirdja Kusuma terhadap keinginan ananda Rey untuk meminang putri saya, Rahma. Tetapi keputusan saya juga tergantung dari keputusan Rahma. Karena dia yang akan menjalani pernikahan itu maka haruslah dilandasi kerelaan dan kesanggupan Rahma sendiri tanpa paksaan oleh siapa pun.”

“Baik, Pak. Kami serahkan sepenuhnya kepada Bapak dan putri Bapak. Kami siap apapun jawabannya.” Bapak Sudirdja mempersilahkan.

Dan saat sang Ayah menanyakan kesediaan putrinya perihal lamaran dari keluarga Rey, sejenak suasana hening. Hingga beberapa lama. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Rahma. Namun, hati Rey sudah siap mendengar jawaban dari Rahma. Sepahit apapun. Jika ditolak, maka ia sudah siap menerima bullyan teman-temannya seandainya mendengar peristiwa ini. Terutama Hari. Ia pasti akan mengungkit peringatan-peringatan yang telah diucapkannya yang tak pernah aku hiraukan.

“Kubilang juga apa, Rey? Kamu cari penyakit saja. Memang enak menghadapi penolakan demi penolakan?” Kalimat seperti itu pun melintas di pikiran Rey. Dan kini, dia sedang menyiapkan mental untuk menghadapi segala kemungkinan.

Jadi bagaimana, Rahma? Apakah kamu menerima lamaran Rey?

Setelah dua menit lamanya belum ada jawaban. Di menit ke tiga, barulah Rahma menjawab tanpa suara.

Rahma perlahan mengangguk.

Muka Rey sekonyong-konyong berubah. Dari ketegangan menjadi cerah dan berbunga-bunga. Seperti malam yang pekat oleh gerhana, tiba-tiba muncul bulan purnama yang terang benderang menyinari bumi.

“Terima kasih, Rahma. Terima kasih, Bapak Widyatama dan keluarga. Kami merasa terhormat atas penerimaan ini walau seandainya lamaran kami tidak diterima sekalipun saya sudah siap untuk itu. Tetapi alhamdulillah, niat saya gayung bersambut.” Rey berdiri dan membungkuk memberi hormat pada calon mertuanya.

Hari-hari berikutnya menjadi hari yang sibuk bagi dua keluarga ini. Merencanakan hingga melangsungkan akad dan resepsi pernikahan.

Sampailah saatnya Rey dan Rahma menjadi sepasang suami istri. Hanya ada satu hal yang menggelitik di hati Rey. Ia masih menyimpan tanda tanya, apa yang membuat Rahma memutuskan menerima pinangannya. Padahal sikap Rahma selama ini selalu menolak dan menghindar dari usaha Rey mendekatinya.

Ketika malam pertama ia menanyakan hal itu pada istrinya, Rahma menjawab.

“Aku tak punya cukup waktu untuk berpacaran. Bagiku pacaran itu lebih sebagai basa-basi. Maka ketika kamu berani melamarku, itu adalah point penting buatku. Karena tidak banyak pria yang berani melakukannya. Aku wanita seperti kebanyakan, Rey. Aku tetap membutuhkan pasangan, hanya bedanya aku memiliki cara yang berbeda. Aku tidak suka yang abu-abu. Kalau mau ayo menikah, kalau hanya untuk main-main lebih baik aku menyibukkan diri untuk hal lain yang lebih berguna. ”

Tak biasanya, Rey mendengar kalimat panjang keluar dari mulut Rahma, selain saat dia membicarakan hal-hal terkait pekerjaannya di kantor. Kini ia tahu, perempuan yang telah menjadi pasangan hidupnya bukanlah perempuan yang sombong dan kurang bergaul. Ia hanya memegang prinsip yang tak banyak dimiliki oleh kebanyakan wanita seusianya.

Aku hampir tak percaya hari ini menjadi sepasang manusia yang dipersatukan oleh cinta yang tak diawali dengan logika umum hubungan manusia modern. Kamu lebih memilih menjadikan dirimu sebagai Siti Nurbaya dengan sedikit modifikasi. Siti Nurbaya yang ikhlas menerima Datuk Maringgih tanpa paksaan, melainkan murni kesadaran diri. Bahwa jodoh tak selalu harus dimulai dengan menjalani hubungan berpacaran.

Menikahimu tanpa pacaran adalah seperti petani yang setia menunggu panen raya. Bersabar menanti masa panen yang terancam gagal oleh kemarau. Atau benih yang tak bisa tumbuh oleh tanah yang baru pertama kali ditanami. Menikahimu membawa nuansa yang berbeda.Β 

20 Agustus 2018

Rey menutup jurnal hariannya. Lalu menggendong Rahma yang telah sah menjadi istrinya.

“Rey, kali ini aku mengizinkanmu memacariku. Bahkan lebih dari itu.” Rahma tersenyum lebar di malam pertama. Sekaligus menjadi senyuman pertama selama Rey mengenalnya. Cinta mereka memang bukan cinta biasa.

*

 

22 responses to “Bukan Cinta Biasa

  1. Aih Mas rupanya piawai juga menulis fiksi yg menarik banget untuk disimak.
    Iya, memang cinta demikian. Jauh dikejar, akhirnya kalau sudah nyambung, oh ternyata jodohku sama dia toh…
    Btw, profesi Rahma ini sama dg profesi anak pertama saya yang baru oktober kemarin menikah dan sah menjadi suami dari gadis pilihannya.

    Salam dari saya di Sukabumi.

    Liked by 1 person

    • Wah… terim kasih apresiasinya, Pak Titik. Selamat ya atas pernikahan putri pertamanya. Ternyata karakter yang saya tulis bisa mirip dengan profesi putri Pak Titik. Salut, semoga sukses di bidangnya.

      πŸ˜πŸ™ salamhangtajuga dari Depok.

      Like

  2. Pingback: Jokka Sambil Bercokol – Ikatan Kata·

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.