Janji Surti

apem

ilustrasi: oyinayashi.blogspot.co.id

Sejak dua tahun lalu setiap menjelang Ramadhan, Bimo selalu pulang ke kampungnya. Ia sempatkan di sela-sela kuliahnya mengunjungi tempat kelahirannya di Wonogiri. Di sebuah sudut desa yang masih menjalankan tradisi megengan ( menyambut bulan puasa di bulan ruwah atau sya’ban) Bimo tak ingin melewatkan momen ini setiap tahunnya. Ia selalu kangen pulang untuk meminta maaf kepada orang tua dan sanak famili juga para tetangga. Dan yang menambah kangen di acara ini adalah selalu ada hidangan kue khas kuliner Jawa yang menjadi menu wajib. Kue apem namanya. Kue apem memang kesukaan Bimo. Dan, alasan lainnya mengapa ia harus pulang, karena ia ingin menikmati kue apem buatan Surti, gadis manis adik kelasnya di SMP yang berhasil merebut hatinya kala beranjak dewasa.

Kue apem buatan Surti sangat terkenal di desanya. Kue yang terbuat dari tepung beras dan sagu itu rasanya gurih karena santan, ragi dan telurnya yang membuat tekstur kue apem kenyal dan legit. Warna yang sedikit gosong karena kerak saat dipanggang di panggangan tanah liat membuat tampilannya menarik dan rasanyapun renyah penuh sensasi. Barangkali itu yang membuat Bimo tak pernah melupakan momen megengan setiap tahun di kampungnya. Dulu anak-anak sering berebut kue apem setiap kali main di rumah Surti. Dan Surti tak merasa direpotkan, justru senang melihat anak-anak menggemari kue buatannya. Dan Surti selalu menyiapkan kue apem khusus untuk menyambut kepulangan Bimo.

Masih teringat di tahun ke dua, saat Bimo mengunjungi rumah Surti yang berjarak kurang lebih 5 kilometer, jarak yang cukup dekat untuk ukuran penduduk kampung. Bimo selalu sumringah saat berjumpa dengan keluarga Surti. Ia berjabat tangan erat dengan ayah dan ibu Surti, juga bercanda dengan adik-adik Surti yang masih di bangku SD dan SMP. Bimo sudah seperti keluarga, meskipun hubungannya dengan Surti masih sebatas teman dekat atau kekasih.

“Jadi kamu kapan kuliahnya selesai, nak Bimo?” tanya Ibu Surti.

“Ya, saya usahakan cepat selesai Bu. Mohon doanya agar secepatnya selesai dan mendapatkan pekerjaan ya Bu.” Jawab Bimo, seolah tahu ke arah mana pertanyaan ibu Surti. Apalagi kalau bukan harapannya ingin segera mendapatkan mantu dan momong cucu.

“Yah, kamu baik-baik saja kuliahnya, Nak. Ibu sudah tua, dan Surti anak pertama ibu. Kalau memang kamu serius dengan Surti, kami mau menunggumu. “

“Nggih Bu. Ingin rasanya saya cepat-cepat melamar Surti.” Bimo melirik Surti yang duduk berdampingan dengan Ibunya di kursi rotan yang sudah berusia tua. Surti tersenyum bahagia mendengar kalimat penuh harapan dari Bimo. Kapan hari itu tiba? Kapan dia berhenti mengabarkan lewat sms bahwa kue apem buatannya sudah disiapkan? Surti ingin menghidangkan kue apem kapan saja Bimo mau, tak harus menunggu bulan Sya’ban.

Kepulangan Bimo selalu menjadi hari-hari terindah bagi Surti. Juga hari-hari yang akan segera berganti kesepian setiap kali Bimo kembali ke Jakarta. Dan cinta mereka akan berlanjut dengan Long Distance Relationship.

“Mas, hati-hati ya di Jakarta. Aku selalu di sini menunggumu. Menyiapkan kue apem kesayanganmu meski hanya di bulan Sya’ban. Aku pegang janjimu mas. “

“Dik Surti, jangan khawatir. Mas Bimo pasti akan kembali dan membawamu ke pelaminan. Kita akan mempunyai anak-anak yang lucu. 4,5 atau 6”

“Hah… kebanyakan mas. Memang mas Bimo sanggup nyekolahinnya?“ Ledek Surti menanggapi candaan Bimo.

“Oh, kenapa tidak? Setiap makhluk yang dilahirkan selalu membawa rejekinya masing-masing. Lagi pula banyak anak kan banyak rejeki. Hehehe.. ” Bimo tertawa melanjutkan candanya yang justru membuat Surti makin berbunga-bunga.

“Ah, alasan klise itu mas.”

**

Empat tahun sudah berlalu. Kuliah Bimo akhirnya selesai dan ia menyandang kelulusan dengan predikat Cum Laude dari universitas negeri ternama di Jakarta. Saat lulus tak lupa ia mengabari Surti.

“Selamat ya mas..” Suara Surti tertahan, ia tak mampu melanjutkan lagi kata-katanya. Suaranya terbata. Ada air mata mengaliri pipinya yang bersih dan berakhir membasahi gagang handphone yang dipegangnya. Air mata penantian pada kekasih yang berada jauh di ibukota. Kekasih yang sedang merenda masa depan, demi cita-cita bersama. Cita-cita akan masa depan yang indah, bahagia dengan anak-anak yang meramaikan rumah setiap hari.

“Ya dik Surti. Mas Bimo janji akan membahagiakanmu kelak. Dan akan segera melamarmu usai mendapat pekerjaan. Sabar ya dik, semua akan indah pada waktunya.” Bimo meyakinkan Surti dan membesarkan hatinya untuk bersabar.

“Tapi mas.. aku kadang khawatir, semakin lama mas di Jakarta akan semakin jauh dan berubah pikiran. Apalagi di Jakarta, banyak perempuan cantik. Lalu mas tergoda dan melupakan semua janji kita.”

“Jangan terlalu kau cemaskan mas Bimo, dik. Doakan saja semua baik-baik saja. Di mana pun kalau kita mau ingkar janji tak peduli jauh atau dekat bisa saja, Jarak tidak selalu menjadi masalah.” Bimo kembali meyakinkan Surti. Dan Surti kembali menjalani hari-harinya dalam penantian. Entah sampai kapan.

**

Berbekal ijasah memuaskan dari Universitas ternama Bimo pun dengan mudah mendapatkan pekerjaan. Tak sampai dua tahun ia dipercaya menduduki jabatan Manajer Pemasaran karena prestasinya di kantor yang menonjol di antara karyawan-karyawan yang lain. Ia sangat dipercaya Direktur sekaligus pemilik perusahaan yang sudah memiliki omset triliunan rupiah. Tahun pertama dan kedua ia mampu meningkatkan penjualan secara signifikan. Banyak wilayah yang sebelumnya kurang memberikan kontribusi, di tangan dinginnya berhasil dikelola dengan baik. Di samping itu ekspansi wilayah baru juga dilakukan dengan baik.

Namun dibalik kesuksesan karir Bimo, ia acapkali dihadapkan pilihan sulit. Bukan tentang pekerjaan. Tapi sikap Direktur kepadanya.

“Clara, kamu biar diantar Bimo pulangnya ya. ” Pak Budi sang Direktur selalu menodong Bimo agar mau mengantar pulang Clara, anak semata wayangnya. Ia selalu berusaha lebih dekat dengan Bimo sampai pada urusan di luar pekerjaan. Dan Bimo tak bisa menolaknya. Ia berusaha menjaga hubungan itu berjalan sewajarnya, seperti layaknya kawan baik atau persaudaraan.

“Sudahlah Pa.. jangan merepotkan mas Bimo terus. Clara bisa nyetir sendiri. ” Clara sebenarnya sungkan diantar Bimo setiap kali bertemu papa dan Bimo menjelang pulang kerja.

Di perjalanan keduanya acap kali menyinggung sikap pak Budi .

“Mas Bimo, kamu jangan tersinggung ya atas sikap Papa.” Clara membuka pembicaraan.

“Ah, biasa saja. Kenapa harus tersinggung?”

“Aku khawatir kamu merasaa diperlakukan seperti sopir pribadi saya.”

“Oh, gak lah. Papa mu orang baik. Tapi jujur aku juga belum paham kenapa harus aku yang mengantarmu?”

“Bagaimana kalau kelak Papa menuntutmu lebih?”

“Maksudmu?”

“Oh tidak.. “ secepatnya Clara meralat ucapannya. Takut keceplosan. Ada yang tak ingin diucapkannya lebih jauh.

Meskipun anak seorang Direktur, Clara tidak mentang-mentang. Kadang ia manja karena anak semata wayang cenderung diperlakukan seperti itu, selalu diperhatikan dan dilindungi orang tuanya lebih dari yang lain. Tapi kadang ia cukup dewasa dalam hal menjaga perasaan orang lain. Di usia yang baru 22 tahun dan baru saja lulus sebagai Sarjana Ekonomi di luar negeri ia mau belajar bekerja dan tak gengsi membaur bersama karyawan lainnya. Padahal ia anak bos. Dan pak Budi ayahnya berusaha menjaga profesionalisme dan kejujuran meskipun terhadap anaknya sendiri.

Di balik wajahnya yang cantik, kulit bersih dan postur tubuh yang langsing tapi berisi Clara tentu menjadi perhatian banyak lelaki. Dan Bimo seorang lelaki yang setiap saat diizinkan menemani Clara. Tapi Bimo tak membiarkan ego dan kelelakiannya menguasai hatinya. Ia tetap memegang janji kepada Surti, bahwa hanya ada dia di hatinya. Meskipun Clara tentu memiliki kelebihan dalam beberapa hal, tapi Surti bagi Bimo adalah permata yang akan terus tersimpan bersama cita-citanya. Surti adalah tambatan hati dan masa depannya, Bimo sudah janji bahkan kepada ibunya. Di mana harga diri sebagai laki-laki bila dengan mudah mengingkari janji? Begitu bisik hatinya setiap kali dihadapkan dilema antara bersikap baik kepada Bosnya dan saat ada desiran aneh kala berdua bersama Clara.

“Mas, maukah mas Bimo berkata jujur? “ Clara mengawali pembicaraan saat untuk kesekian kalinya diantar pulang.

“Jujur ?” Bimo balik bertanya sambil menerka maksud pertanyaan Clara.

“Mas Bimo sudah punya pacar?”

Bimo menarik nafas lebih dalam. Pertanyaan itu akhirnya keluar juga dari mulut Clara, Dan ini kesempatan Bimo mengatakannya terus terang.

“Sudah. Kenapa Clara tanyakan itu? “ Jawab Bimo tegas tanpa ragu-ragu.

“Oh.. enggak. Ingin tahu saja. “ Clara merespon dengan datar, namun tersirat bibirnya agak bergetar. Getaran kekecewaan.

Dan ketika suatu malam Bimo diundang makan oleh pak Budi di rumahnya, ia merasa bimbang untuk memenuhi undangan itu. Lagi-lagi ia sulit menolak undangan kehormatan bosnya itu. Jarang sekali karyawan diundang Direktur ke rumahnya dengan undangan khusus yang disampaikan oleh Clara, putri cantik semata wayang yang kelak akan meneruskan perusahaan ayahnya.

“Mas ,, ayah mengundang mas Bimo Sabtu malam besuk. “

“Siapa saja yang diundang?“

“Mas Bimo sendiri.”

“Hah… ?” Bimo kaget. Pikirannya langsung bertanya-tanya, pasti tidak sekedar makan malam. Tapi ia tak mau GR atau ketakutan. Keduanya adalah kondisi yang tak mengenakkan.

Di ruangan makan hanya ada pak Budi, bu Martha istri pak Budi, Clara dan Bimo. Di tengah-tengah percakapan setelah papa dan mama Clara puas “mennginterogasi” Bimo tentang latar belakang kehidupannya lebih dalam, sampailah pokok bahasan yang langsung ditembakkan kepada Bimo.

“Bimo, setelah sekian lama kamu bekerja di perusahaanku aku semakin mengenalmu lebih jelas dan semakin percaya pada kemampuanmu. Kamu tahu, aku sudah lama memimpikan anak laki-laki yang kelak kupersiapkan untuk melanjutkan perusahaanku, Tapi nyatanya anakku semata wayang adalah perempuan. Bukan maksudku meremehkan seorang perempuan, Clara tetap akan menjadi penerus nantinya . Tapi aku ingin ada orang hebat yang bisa mendampinginya. Aku ingin perusahaan ini tetap bisa dikelola dengan baik oleh generasi setelah pak Budi dan bu Martha. Setelah kami tak sanggup memegangnya. Atau lebih jauh ketika nanti aku dan mama Clara tutuo usia.”

“Jadi, meskipun aku tahu dan sadar kamu sudah mempunyai pilihan gadis, aku tetap berharap kamu menjadi pendamping anakku. Menjadi menantuku. Mungkin sampai aku benar-benar melihat bahwa kamu tak mungkin menjadi menantuku, karena posisimu kan belum terikat secara resmi dengan gadis pujaanmu. Bagaiman pendapatmu?”

Rasa kaget tak bisa disembunyikan oleh Bimo, ia hampir tersentak dan jatuh dari kursinya, meskipun firasat akan mendapat pertanyaan itu sudah ada dalam benaknya. Apa yang ditakutkan dan ingin dihindari Bimo akhirnya datang juga. Sebuah tawaran yang bagi orang lain menjadi anugerah, tapi tidak bagi Bimo. Ini adalah tawaran yang membuat dadanya sesak bernafas. Ia teringat janji pada Surti, perempuan sederhana di sebuah desa yang hanya tamatan SMA. Jauh ke mana-mana bila dibandingkan dengan Clara. Tapi, bagi Bimo Surti adalah perempuan yang bisa mengajarkannya bahwa cinta itu itu tak selalu diukur dengan apa yang tampak. Surti perempuan jujur berhati lembut. Tak bisa ia membandingkannya dengan Clara, Surti sangat spesial dan menempati ruangan khusus di hati Bimo hingga selama 6 tahun lebih ia tetap tak bisa ke lain hati. Bimo tetap memegang erat-erat janjinya. Juga janji Surti yang akan tetap menunggunya apapun yang terjadi.

“Pak Budi, saya sangat menghormati Bapak sebagai bos saya. Namun izinkan saya mohon maaf dalam hal ini. Saya memiliki sebuah janji, dan bagi saya janji itu tak bisa ditukar dengan apapun. Karena harga diri saya adalah ketika mampu menepati janji itu meski pun hanya kepada seorang perempuan desa yang sangat sederhana. Jadi tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan saya kepada Bapak atas kehormatan yang bapak sampaikan malam hari ini, saya mohon maaf tidak bisa memenuhi permintaan pak Budi kali ini. Mohon maaf sekali, dan saya bersedia menerima konsekwensi apapun terkait karir saya dalam perusahaan Bapak. ”

Pak Budi seolah sudah menduga jawaban Bimo, sehingga ia cukup tenang menanggapinya

“Oke, tidak apa-apa. Aku mengerti dan aku sudah siap kalau jawabanmu akan demikian. Paling tidak aku sudah mengutarakan uneg-uneg dalam hatiku. Karena apa? Karena aku sangat percaya integritasmu selama ini. Baik, kamu tetaplah menjadi karyawan terbaikku. Aku tidak akan memecatmu hanya karena penolakan ini. Tapi, aku akan selalu terbuka untukmu kapan saja. Siapa tahu kamu berubah pikiran atau takdir berkata lain.”

“Terima kasih pak Budi. Saya tetap dengan janji untuk Surti. Dan mohon maaf juga untuk Clara .”

Clara dan ibunya hanya terdiam. Tak sanggup menimpali. Bimo kembali bisa bernafas dengan lega. Ia berhasil melewati dilema dan pilihan yang sangat tidak mengenakkan hati. Ia harus berkata “tidak” untuk orang yang selama ini mempercayainya.

Setahun berlalu, dan di suatu malam Bimo terusik rasa kangen yang menggigit. Kangen akan kampung halamannya, dan ia melihat kalender. Bulan Sya’ban tinggal beberapa hari lagi. Ia teringat kue apem buatan Surti dan kangen itu semakin menjadi-jadi.

Tiba-tiba handphonenya berbunyi. Ya Tuhan, sms dari Surti. Ia tak sabar membacanya.

“Mas Bimo, megengan tahun ini gak lupa pulang kan?”

Buru-buru Bimo membalasnya. “Tentu dik, aku harus pulang dan ada yang akan kubicarakan hal penting padamu. Aku sudah kangen berat ingin ketemu dik Surti. Sampaikan salamku pada ibumu, aku akan segera pulang. Melamarmu.”

Kembali air mata Surti mengalir deras di pipinya. Kali ini lebih deras dari biasanya. Air mata kebahagiaan. Surti pun sujud syukur mengungkapkan kebahagiaannya di atas sajadah. “Duh Gusti Allah, akhirnya waktu itu tiba. Alhamdulillah.. “

Keesokan harinya Bimo pun berangkat ke kampung, karena malamnya akan ada acara megengan sebagai salah satu ritual menyambut bulan puasa di kampung. Kalau di kota semacam Nisfu Sya’ban namun di desa istilahnya lebih dikenal sebagai selamatan ruwahan. Megengan artinya menahan. Dan sajian kue apem adalah simbol ucapan maaf. Apem berasal dari bahasaa Arab yaitu afuan, artinya maaf. Jadi disajikannya kue apem adalah karena pertengahan ruwah atau sya’ban menjadi tradisi orang Jawa untuk meminta maaf satu sama lain terutama kepada sanak dan famili agar di bulan Ramadhan bisa dijalani dengan hati yang bersih dan suci.

Terbayang di benak Bimo, Surti pun menyajikan kue apem khusus untuknya. Kue apem bikinannya tiada tandingnya. Paling tidak bagi Bimo sendiri. Dan saat ia berkunjung ke rumah Surti kali ini ia ingin mendapati Surti dalam keadaan paling bahagia, karena harapannya akan terwujud menyusul kabar menggembirakan dari Jakarta. Kabar dirinya akan mengakhiri masa lajangnya. Seperti tak sabar Bimo ingin secepatnya melamar dan menikahi Surti.

Dan ketika ia membawa mobilnya mendekati rumah Surti, jantungnya berdetak kencang. Tapi ada yang tak biasa, ia melihat keramaian dan lalu lalang orang berpusat di rumah Surti. Ia buru-buru memarkir mobilnya.

Dan, beberapa bendera kuning dijumpainya beberapa kali mengarah ke rumah Surti.

“Oh tidak. Tidak mungkin….” bisik hatinya berharap bukan mimpi buruk apa yang akan ditemuinya

“Pak.. Saya mau ke rumah Surti. Tapi kenapa ada bendera kuning..?” tanya Bimo kepada seorang Bapak di dekatnya.

“Apa ki sanak belum tahu, Surti sudah meninggal…”

Bagai halilintar menyambar dan membentur keras di kepalanya, Bimo hampir pingsan mendengar kalimat jawaban Bapak itu.

“Apa pak? Tidak mungkin.. Tidak mungkin, seminggu yang lalu saya masih bercakap-cakap dengan Surti lewat telepon.” Bimo sekuat tenaga mengingkari jawaban Bapak itu. Ia tak sanggup membayangkan yang meninggal adalah Surti.

“Ya betul, nak. Surti sudah seminggu dirawat di RS tapi tidak tertolong. Awalnya panas dan demam, ternyata demam berdarahnya sudah terlambat dibawa ke dokter. “

“Duh Gusti Allah… apalagi yang hendak kautunjukkan padaku. Orang yang selama ini aku sayangi sepenuh hati tiba-tiba kau panggil sedemikian cepat.”

Air mata tak hanya milik perempuan. Dan Bimo pun tak sanggup menahannya di pemakaman Surti. Ia tak hendak pulang meskipun semua pelayat yang menguburkan Surti sudah meninggalkan pemakaman, Ia ingin bercakap-cakap dengan Surti, tak peduli ia sudah di alam lain.

“Surti, mengapa kau pergi secepat ini ? Padahal tinggal berapa langkah aku akan membahagiakanmu..” Hari sudah sore, dan sebentar lagi matahari pasti tenggelam. Namun Bimo masih betah di pemakaman. Sampai datang Sayekti, adik Surti yang masih SMP bersama seorang gadis putih bersih.

“Mas Bimo, pulanglah mas. Ini ada teman yang mencari mas, dari Jakarta katanya..”

“Clara, bagaimana kau tahu aku di sini?”

“Entahlah mas, aku mengikuti kata hatiku saja. Papa juga menyuruhkan untuk menyusulmu kalau-kalau terjadi apa-apa padamu.”

Ditatapnya mata gadis itu, dan hati Bimo campur aduk tidak karuan. Antara kesedihan yang memuncak, kehilangan yang amat sangat dan tiba-tiba bidadari cantik seolah berusaha menghiburnya. Bidadari yang turun tak diduga-duga. Bidadari yang tak menyerah oleh penolakan halus seorang Bimo. Dan kini Bimo seperti terjatuh ke jurang pengharapan, lalu tiba-tiba tali dijulurkan ke jurang agar bisa kembali ke permukaan. Kembali ke dunia realita agar tak tengggelam dalam janji suci.

“Ini ada titipan dari mbak Surti untuk mas Bimo” Sayekti menyodorkan sepucuk surat,

Secepatnya Bimo membuka dan membacanya.

Mas Bimo, maafkan aku..
saat kau baca surat ini, seharusnya aku sudah menyiapkan kue apem spesial untukmu.
tapi aku merasa sakitku semakin parah, aku belum sanggup menyiapkannya
namun aku masih bisa menyisakan sedikit tenaga untuk menuliskan rasa rindu dan kangenku padamu
mungkin untuk yang terakhir kalinya. 

Andai pun Gusti Allah punya rencana lain untukku, aku hanya bisa pasrah dan menerima
karena apapun kehendak kita, Gusti Allah lebih berhak atas segalanya
maafkan aku mas, tak bisa memenuhi janji kecuali menunggumu sebatas umur yang ditentukan

terima kasih sudah menjadi bagian dari hidupku, bagian dari harapanku
meski terasa menyakitkan, aku mohon ikhlaskan bila nanti apa yang tidak diharapkan terjadi padaku
aku pun ikhlas bila kelak kau menemukan tambatan hati yang lebih baik dariku..
dan aku akan bahagia saat kau membaca surat ini
itu artinya kau adalah lelaki sejati
yang selalu memegang janji

maafkan aku mas Bimo,
semoga kau bahagia meski tanpa aku
di sisimu

Dan langit pun semakin gelap seiring adzan magrib berkumandang. Segelap perasaan Bimo sepeninggal Surti. Ia pulang dengan langkah gontai. Bersama Clara…

***

4 responses to “Janji Surti

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.